Halaman

Halaman

Saturday, March 21, 2020

KONSEP MUSTAHIQ DAN MUZAKKI


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang berdimensi ibadah dan sosial. Zakat tidak hanya mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan bagi pemberinya, akan tetapi juga memberikan kebaikan bagi yang menerimanya. Zakat dapat memberdayakan kaum yang lemah, meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, memiliki potensi zakat yang besar. Pengelolaan zakat di Indonesia telah berlangsung lama, selama usia republik ini. Akan tetapi hasil penghimpunan dan dampaknya bagi kesejahteraan umat Islam Indonesia masih sangat kecil.
Fase penting dalam pengelolaan zakat selain penghimpunan zakat adalah pendayagunaan dan pemanfaatan zakat. Tantangan terbesar dari optimalisasi zakat adalah bagaimana mendayagunakan dana zakat sehingga menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Tepat guna berkaitan dengan program pendayagunaan yang mempu menjadi solusi terhadap problem kemiskinan. Sedangkan tepat sasaran berkaitan dengan penerima dana zakat tersebut adalah benar-benar yang berhak menerimanya.
Hal tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan kerja-kerja pengelolaan yang terencana, terorganisir, amanah, professional, dan dengan pengawasan yang aktif.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep muzakki  dalam pelaksanaan zakat?
2.      Siapa saja orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)?


BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                        
A.      Konsep Muzakki
Para fuqaha (ahli fiqih) telah sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan bagi orang muslim, baligh, berakal, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu (nishab) dan dengan syarat-syarat tertentu pula. Sementara para ulama’ berbeda pendapat terhadap harta yang dimiliki oleh anak kecil dan orang gila, apakah terkena kewajiban zakat atau tidak.
Fuqaha dalam masalh ini berbeda pendapat. Golongan pertama ( abu ubaid, hasan, ibnu hazm, mujahid, abu hanifah dan pengikutnya) memastikan bahwa kekayaan atau sebagian kekayaan anak kecil atau orang gila tidak wajib zakat. Namun sebagian dari mereka berpendapat bahwa harta anak yatim yang berkembang dan diinvestasikan semacam hasil tanaman, dan peternakan dikenai zakat. Sedangkan harta yang tidak dikembangkan tidak terken zakat. Alasannya yaitu agar harta anak-anak yatim dan orang gila tetap berada ditangn mereka, karena ditakutkan harta kekayaan itu akan habis oleh zakat karena tidak dikembangkan. Hal ini karena mereka tidak dapat mengurusi diri mereka sendiri apalagi harta mereka.
Sedangkan golongan kedua (atha’, jabir bin zaid, thawus, dan zuhri dari kalangan tabi’in) berpendapat bahwa harta anak kecil dan orang gila wajib dizakati. Mereka beralasan dengan keumuman teks-teks ayat al-qur’an dan hadits-hadits shahih yang menegaskan secara mutlaq wajibnya zakat atas kekayaan orang-orang kaya, tidak terkecuali apakah mereka anak-anak atau orang gila. Alasan yang kedua adalah adanya hadits nabi yang memerintahkan mengembangkan harta anak yatim dengan cara berdagang supaya tidak habis terkena zakat.[1]
Menurut syekh muhammad shalih al-utsaimin syarat wajib zakat adalah: Islam, merdeka, mencapai nishab, dan telah berputamya masa harta tersebut satu tahun (haul) kecuali dalam mu'asyirat (hasil pertanian dan perkebunan).
Adapun syarat Islam, karena orang kafir tidak wajib zakat dan tidak akan diterima darinya meskipun ia mengeluarkannya atas nama zakat. Allah berfirman, "Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah danRosul-Nyo dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." (Q.S. at Taubah [9] : 54).
Sedangkan syarat merdeka, karena budak tidak memiliki harta tetapi hartanya adalah untuk tuannya berdasarkan sabda Nabi "Barangsiapayang menjual budak yang mempunyai harta maka hartanya untuk yang menjualnya, kecuali jika pembeli menjadikannya syarat”.[2]
Oleh karena itu budak dianggap tidak memiliki harta yang mengharuskannya berzakat. Dan jika ditakdirkan si budak memiliki harta, pada akhimya harta tersebut akan berpindah ke tangan tuannya. Sebab tuannya boleh mengambil apa yang ada di tangannya. Karena itu kepemilikannya tidak sempuma dan tidak tetap sebagaimana halnya harta milik orang-orang merdeka. Maka zakatnya diwajibkan kepada pemilik harta tersebut, sedangkan budak tidak ada kewajiban apapun. Dan harta seperti ini, tidak mungkin luput dari kewajiban zakat.
Syarat mencapai nishab (kadar batasan harta yang diwajibkan zakat), maksudnya bahwasanya seseorang memiliki harta yang telah mencapai nishab yang telah ditenfukan syara'. Masing-masing harta memiliki nishabnya tertenfu. Jika seseorang memiliki harta yang tidak mencapai nishab, maka ia tidak wajib zakat, sebab hartanya sedikit dan tidak memungkinkannya untuk membantu orang lain.
Mengenai syarat berlalunya haul (berputamya harta safu tahun), hal itu dikarenakan kewajiban zakat pada masa sebelum haul akan memberatkan orang-orang kaya. Dan sebaliknya kewajiban zakat dengan masa haul yang terlalu lama akan memadharatkan hak orang-orang fakir. Maka di antara hikmah syari'at adalah dengan menenfukan waktu tertentu untuk mengeluarkan zakat yang disebut dengan haul. Hikmah mengikat hal tersebut dengan haul adalah demi sebuah keseimbangan (tawazun) dalam menjaga hak orang-orang kaya dan hak para penerima zakat sekaligus.
Atas dasar ini, kalau seseorang meninggal atau hartanya habis sebelum sempurna haul, maka kewajiban zakat menjadi gugur. Kecuali tiga jenis harta yang dikecualikan dari semprnanya haul: keuntungan dagang, hasil ternak, dan pertanian.[3]
B.   Konsep Mustahiq
Allah SWT membatasi penerima zakat pada delapan asnaf (golongan). Hal tersebut dilakukan agar zakat benarbenar diterima orang-orang yang berhak dan membutuhkan. Apabila tidak dibatasi maka akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tamak untuk memuaskan kepentingan. Untuk menghalangi keinginan tersebut menjelaskan dan membatasi siapa saja yang berhak menerima zakat.[4]
Dalam Surat at-Taubah ayat 58-60, Allah SWT berfirman yang artinya:
”58. Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. 59. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). 60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Pernyataan Allah yang menggunakan kata innama, menunjukkan pembatasan penerima zakat hanya untukdelapan golongan saja, dan menutup pintu-pintu bagi kelompok lain yang tidak berhak untuk mendapatkannya. Delapan golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Fakir & Miskin.
Fakir dan miskin ditempatkan diawal sebagai golongan yang berhak menerima zakat. Penempatan ini menunjukkan urgensi dan prioritas dalam pendistribusian zakat, yaitu diprioritaskan bagi fakir dan miskin. Karena tujuan dari zakat adalah untuk mengurangi kemiskinan, membantu dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan.
Penyebutan kata fakir dan miskin dalam surat at- Taubah ayat 60 ini menunjukkan bahwa keduanya adalah entitas yang berbeda. Para fukaha berbeda pendapat tentang sisi perbedaan dari keduanya. Akan tetapi penyebutan fakir terlebih dahulu dibandingkan miskin menunjukkan bahwa fakir lebih buruk kondisinya dibandingkan miskin.
Menurut al-Bahuty, fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa atau tidak memiliki setengah dari kebutuhannya, sedangkan miskin adalah yang memiliki setengah dari kebutuhannya atau lebih.[5] Wahbah al-Zuhaily memberikan penjelasan yang mudah dipahami tentang perbedaan fakir dan miskin. Fakir adalah orang yang kebutuhannya berjumlah sepuluh, akan tetapi dia hanya dapat memenuhi tiga kebutuhannya saja, sedangkan miskin adalah orang yang memerlukan sepuluh akan tetapi hanya mendapatkan delapan, sehingga masih dianggap belum layak dari segi pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Kalau sebuah Negara memiliki standar hidup layak, maka fakir adalah orang yang hidup di bawah setengah dari standar hidup layak, sedangkan miskin adalah yang hidup di atas setengah dari standar hidup layak, akan tetapi belum mencapai standar hidup layak tersebut.
Ada perbedaan pendapat tentang ukuran zakat yang wajib diberikan kepada fakir dan miskin. MenurutMasyhur, yang penting adalah fakir dan miskin dapat memenuhi kebutuhan primernya untuk mencapai standar hidup layak, berupa pakaian, makanan, tempat tinggal, hewan ternak, dan alat untuk berkerja, bagi dirinya dan keluarganya.[6]
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan standar minimal dalam memenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan dan memperoleh pekerjaan. Seseorang tidak boleh dibiarkan mengalami kelaparan, tidak memiliki pakaian, hidup menggelandang, tanpa tempat tinggal, atau kehilangan kesempatan untuk membina rumah tangga karena ketiadaan dana.
 Zakat tidak diberikan kepada orang kaya, orang yang memiliki fisik kuat akan tetapi malas bekerja, atau orang yang hanya menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah, karena ia juga diwajibkan untuk bekerja. Akan tetapi zakat dapat diberikan kepada orang yang menuntut ilmu, karena kemanfaatan ilmunya tidak hanya untuk dirinya sendiri akan tetapi juga untuk umat Islam.
3.                    Amil
Amil zakat masuk golongan penerima zakat. Amil Zakat menerima zakat karena tugas sebagai amil yang telah dilaksanakan. Sehingga bisa saja amil zakat adalah orang kaya akan tetapi tetap berhak menerima zakat, bukan karena sebab kayanya akan tetapi karena statusnya sebagai amil zakat. Besarnya honor yang diterima amil, sesuai dengan kadar kepantasan dan kecukupan. Amil tidak boleh menggambil selain haknya. Harta yang diambil selain bagiannya masuk dalam kategori korupsi. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang kami pekerjakan, kemudian kami beri ia rizki, maka apa-apa yang ia ambil selain itu adalah korupsi”.
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang kami pekerjakan, kemudian ia menyembunyikan benang dan yang lebih dari itu, maka perbuatannya tersebut adalah korupsi, yang akan datang padanya pada hari kiamat”.
  1.  Muallaf
Yang dimaksud dengan muallaf adalah orang yang diharapkan dengan zakat semakin mantap dalam memeluk Islam. Karena mungkin dengan masuk Islam, ia menghadapi banyak penentangan dari pihak keluarga atau lingkungan, hingga menjadi tertekan, sedih, dan susah. Maka ia perlu hal yang dapat memantapkan dirinya, yaitu dengan zakat. Dengan diberi zakat, agar muallaf merasa diperhatikan oleh Islam, sehingga hatinya semakin mantap memeluk Islam. Zakat juga diberikan kepada orang yang belum masuk Islam, apabila dengan zakat diharapkan ia masuk Islam, atau kelompoknya menjadi masuk Islam. Atau dengan zakat diharapkan ia dapat berhenti dari melakukan keburukan terhadap umat Islam, atau menghentikan keburukan orang lain terhadap Islam.
Menurut Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah, bagian untuk muallaf sudah dihapuskan dengan telah kuatnya agama Islam. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bagian tersebut tetap ada, tidak dihapus. Ibnu al-Araby berpendapat, jika Islam kuat, bagian tersebut ditiadakan, sedangkan jika Islam membutuhkan, maka bagian tersebut diadakan kembali. Dengan banyaknya orang yang memeluk agama Islam di Eropa saat sekarang ini, menjadikan bagian muallaf masih perlu untuk diadakan, agar semakin memantapkan keyakinan orang-orang yang baru masuk Islam terhadap Islam yang dianutnya.
  1. Riqab (budak)
Riqab bentuk jamak dari ruqbah, yang berarti budak, baik laki-laki (‘abd), maupun budak perempuan (amah). Tujuan dari diberikan zakat kepada budak adalah agar ia dapat terbebas dari perbudakan tersebut. Dengan zakat, budak tersebut dapat ditebus (makatib) atau dibeli untuk dibebaskan.
Menurut para mufasir, penggunaan kata li untuk empat golongan pertama dan kata fi untuk empat golongan kedua menunjukkan bahwa zakat bertujuan untuk dimiliki pada empat golongan pertama, sedangkan untuk empat golongan kedua, zakat bertujuan untuk meyelesaikan kepentingan mereka, bukan untuk mereka, kecuali harta yang diterima oleh orang yang berjuang di jalan Allah SWT, maka itu adalah untuknya.
  1. Orang yang berhutang (gharim)
Yaitu orang yang dililit hutang sehingga tidak mampu untuk melunasinya. Orang berhutang karena untuk memenuhi kepentingannya atau untuk kepentingan orang lain. Mujahid berkata:”ada tiga golongan gharim, orang yang hartanya hanyut karena banjir, orang yang hartanya habis dilahap api, dan orang yang memiliki keluarga akan tetapi tidak memiliki harta, sehingga ia harus berhutang untuk menafkahi keluarganya”.
Para fukaha memperbolehkan melunasi hutang orang yang telah meninggal dengan zakat, karena orang tersebut masuk kategori gharimin. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku lebih utama daripada setiap orang mukmin. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk keluarganya. Barang siapa yang meninggalkan hutang, maka hutang tersebut untukku atau menjadi kewajibanku”
Ulama sekarang memperbolehkan orang yang butuh uang meminjam uang zakat dari bagian gharimin tersebut merupakan pinjaman kebajikan (qardh hasan), yang akan menghindarkan orang yang berhutang dari riba.


  1. Fi sabilillah
Yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah jalan yang mengantarkan orang yang menempuh meraih keridhaan Allah SWT, yaitu dengan ilmu dan amal. Sebagian lagi berpendapat bahwa fi sabilillah adalah berperang.
Ibn al-Atsir mengatakan asal dari makna al-Sabil adalah jalan. Sabilillah mencakup semua amal perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan sunnah, dan segala jenis ibadah yang bernilai kebaikan.
Akan tetapi fi sabilillah mengalami penyempitan makna, yaitu hanya bermakna jihad. Hingga seakan-akan fi sabilillah hanya bermakna jihad saja.
Imam-imam mamazhab selain imam Ahmad bin Hanbal berpendapat fi sabilillah adalah pejuang yang berperang untuk meninggikan agama Allah. Mereka mendapat zakat, baik kaya maupun miskin. Imam Ahmad menambahkan makna fi sabilillah selain mujahidin adalah orang yang ingin berhaji akan tetapi tidak memiliki biaya untuk naik haji.
Akan tetapi sebagian fukaha berpendapat bahwa berhaji bukan fi sabilillah, karena haji hanya diwajibkan bagi yang mampu, yang memiliki biaya. Rasyid Ridha berpendapat boleh menyalurkan bagian fi sabilillah untuk hal-hal yang berhubungan dengan haji, misalnya membuat jalan ke Makkah, menyediakan makanan dan minuman, dan meyediakan alat kesehatan bagi jama’ah haji.
Rasyid Ridha berpendapat, yang paling penting untuk menerima bagian fi sabilillah pada masa sekarang ini adalah untuk program pendidikan da’i, membiayai sekolah-sekolah agama Islam, atau untuk pendirian percetakan surat kabar Islam dan buku-buku Islam yang disebarkan kepada masyarakat.[7]
Dapat disimpulkan bahwa semua usaha maksimal untuk meninggikan agama Islam adalah fi sabilillah, bagaimanapun bentuk jihad dan senjata yang digunakannya, baik dengan pena, lisan, ataupun pedang. Jihad pendidikan, sosial, ekonomi, ataupun jihad politik, dan militer. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berjihadlah terhadap orang-orang musyrik, dengan hartamu, jiwamu, dan lisanmu”[8]
  1. Ibnu Sabil
Ibnu sabil menurut mayoritas ulama adalah orang yang melakukan perjalanan dari suatu negeri ke negeri yang lain, dan kehabisan bekal dalam perjalannya tersebut, maka diberi zakat untuk biaya pulang ke negaranya. Ulama mensyaratkan untuk menerima zakat harus perjalanan yang baik bukan untuk kemaksiatan, seperti perjalanan wisata, atau menuntut ilmu, dan mencari rizki.
Demikian rincian dari delapan golongan penerima zakat. Menurut Mahmod Syaltut, zakat disalurkan pada dua sasaran, yaitu pertama, orang yang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, dan tidak pula dapat berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, untuk kepentingan-kepentingan yang mendesakyang perlu dipenuhi demi tegaknya negara dan agama[9].


BAB III
PENUTUP
                                                                                           
A.      Kesimpulan
Para fuqaha sepakat bahwa orang yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang muslim, baligh, berakal, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu (nishab) dan dengan syarat-syarat tertentu pula. Menurut syekh muhammad shalih al-utsaimin syarat wajib zakat adalah: Islam, merdeka, mencapai nishab, dan telah berputamya masa harta tersebut satu tahun (haul) kecuali dalam mu'asyirat (hasil pertanian dan perkebunan).
Namun dalam hal harta anak kecil dan orang gila para fuqaha berbeda pendapat. Satu golongan mengatakan tidak wwajib zakat sedangkna golongan yang lain mewajibkan zakat. Namun dua pendapat ini dapat dikompromikan, yaitu apabila harta itu dikembangkan maka wajib zakat, tetapi apabilaharta itu hanya dipegang ditangan orang yang diwasiatkan untuk memegangnya maka tidak wajib zakat, dengan maksud supaya harta itu tidak semakin berkurang sebab membayar zakat setiap tahunnya.
Allah SWT membatasi penerima zakat pada delapan asnaf (golongan). Hal tersebut dilakukan agar zakat benarbenar diterima orang-orang yang berhak dan membutuhkan. Apabila tidak dibatasi maka akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tamak untuk memuaskan kepentingan.
Pernyataan Allah yang menggunakan kata innama (QS. At-taubah: 60), menunjukkan pembatasan penerima zakat hanya untuk delapan golongan saja, dan menutup pintu-pintu bagi kelompok lain yang tidak berhak untuk mendapatkannya. Delapan golongan ini yakni fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah, dan ibnu sabil.


DAFTAR PUSTAKA

Kangaaibnuzaein.blogspot.com/2017/03/makalah-muzakki-dan-mustahi-q-zakat.html?m=1
Al-Suyuthy, al-Jami’ al-Shaghir, h.1/554, hadis no. 3578.
Direktorat Pemberdayaan Zakat, Membangun Peradaban Zakat, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012)
Al-Bahuty, (Mansur bin Yunus bin Idris, Kassyaf al-Qina‘an Matan al-Iqna’ (Mesir: Maktabah an-Nashr al-Haditsah, tt)
Ni’mat Abdul Latif Masyhur, al-Zakat al-Usus al-Syar’iyyah wa al-Daur al-InmaI wa al-Tauzi’I, (Bairut: al-Muassasah al-Jamiah lin Nasyr, 1994)
http://eprints.walisongo.ac.id/9776/1/Buku%20Manajemen%20Zakat.pdf.
Ensiklopedi Zakat “Kumpulan fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin”
Bukhari "Kitabul Musagat” bab “ar Rajul yakunu lahu Mamarr” ---' (3379), Muslim "Kitabul Buyu'" bab "Man Baa'a Nakhlan 'alaiha tsamar" (1543)











[1] Kangaaibnuzaein.blogspot.com/2017/03/makalah-muzakki-dan-mustahi-q-zakat.html?m=1
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam”Kitabul Musagat” bab “Ar Rajul yakunu lahu Mamarr”(3379), Muslim "Kitabul Buyu'" bab "Man Baa'a Nakhlan 'alaiha tsamar" (1543)
[3] Kumpulan fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin”, Ensiklopedi Zakat
[4] “Buku Manajemen Zakat.pdf,” diakses 15 Maret 2020, http://eprints.walisongo.ac.id/9776/1/Buku%20Manajemen%20Zakat.pdf.
[5] al-Bahuty, (Mansur bin Yunus bin Idris, Kassyaf al-Qina‘an Matan al-Iqna’ (Mesir: Maktabah an-Nashr al-Haditsah, tt),h.424.
[6] Ni’mat Abdul Latif Masyhur, al-Zakat al-Usus al-Syar’iyyah wa al-Daur al-InmaI wa al-Tauzi’I, (Bairut: al-Muassasah al-Jamiah lin Nasyr, 1994), h.75.
[7] Yusuf al-Qardhawi, h. 2/667-669.
[8] al-Suyuthy, al-Jami’ al-Shaghir, h.1/554, hadis no. 3578.
[9] Direktorat Pemberdayaan Zakat, Membangun Peradaban Zakat, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012). H.51.

0 comments:

Post a Comment