BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zakat merupakan salah satu rukun
Islam yang berdimensi ibadah dan sosial. Zakat tidak hanya mendatangkan
kemanfaatan dan kebaikan bagi pemberinya, akan tetapi juga memberikan kebaikan
bagi yang menerimanya. Zakat dapat memberdayakan kaum yang lemah, meningkatkan
kualitas manusia Indonesia.
Indonesia yang penduduknya
mayoritas beragama Islam, memiliki potensi zakat yang besar. Pengelolaan zakat
di Indonesia telah berlangsung lama, selama usia republik ini. Akan tetapi
hasil penghimpunan dan dampaknya bagi kesejahteraan umat Islam Indonesia masih
sangat kecil.
Fase penting dalam pengelolaan
zakat selain penghimpunan zakat adalah pendayagunaan dan pemanfaatan zakat.
Tantangan terbesar dari optimalisasi zakat adalah bagaimana mendayagunakan dana
zakat sehingga menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Tepat guna berkaitan
dengan program pendayagunaan yang mempu menjadi solusi terhadap problem
kemiskinan. Sedangkan tepat sasaran berkaitan dengan penerima dana zakat
tersebut adalah benar-benar yang berhak menerimanya.
Hal tersebut dapat diselesaikan
dengan melakukan kerja-kerja pengelolaan yang terencana, terorganisir, amanah,
professional, dan dengan pengawasan yang aktif.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
konsep muzakki dalam pelaksanaan zakat?
2.
Siapa
saja orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Muzakki
Para fuqaha (ahli fiqih) telah
sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan bagi orang muslim, baligh, berakal,
merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu (nishab) dan dengan
syarat-syarat tertentu pula. Sementara para ulama’ berbeda pendapat terhadap
harta yang dimiliki oleh anak kecil dan orang gila, apakah terkena kewajiban
zakat atau tidak.
Fuqaha dalam masalh ini berbeda
pendapat. Golongan
pertama ( abu ubaid, hasan, ibnu hazm, mujahid, abu hanifah dan pengikutnya)
memastikan bahwa kekayaan atau sebagian kekayaan anak kecil atau orang gila
tidak wajib zakat. Namun sebagian dari mereka berpendapat bahwa harta anak
yatim yang berkembang dan diinvestasikan semacam hasil tanaman, dan peternakan
dikenai zakat. Sedangkan harta yang tidak dikembangkan tidak terken zakat.
Alasannya yaitu agar harta anak-anak yatim dan orang gila tetap berada ditangn
mereka, karena ditakutkan harta kekayaan itu akan habis oleh zakat karena tidak
dikembangkan. Hal ini karena mereka tidak dapat mengurusi diri mereka sendiri
apalagi harta mereka.
Sedangkan golongan kedua (atha’,
jabir bin zaid, thawus, dan zuhri dari kalangan tabi’in) berpendapat bahwa
harta anak kecil dan orang gila wajib dizakati. Mereka beralasan dengan
keumuman teks-teks ayat al-qur’an dan hadits-hadits shahih yang menegaskan
secara mutlaq wajibnya zakat atas kekayaan orang-orang kaya, tidak terkecuali
apakah mereka anak-anak atau orang gila. Alasan yang kedua adalah adanya hadits
nabi yang memerintahkan mengembangkan harta anak yatim dengan cara berdagang
supaya tidak habis terkena zakat.[1]
Menurut syekh muhammad shalih
al-utsaimin syarat wajib zakat adalah: Islam, merdeka, mencapai nishab, dan
telah berputamya masa harta tersebut satu tahun (haul) kecuali dalam mu'asyirat
(hasil pertanian dan perkebunan).
Adapun syarat Islam, karena orang kafir tidak wajib
zakat dan tidak akan diterima darinya meskipun ia mengeluarkannya atas nama
zakat. Allah berfirman, "Dan tidak ada yang
menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena
mereka kafir kepada Allah danRosul-Nyo dan mereka tidak mengerjakan shalat,
melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan
dengan rasa enggan." (Q.S. at Taubah
[9] : 54).
Sedangkan syarat merdeka, karena budak tidak memiliki
harta tetapi hartanya adalah untuk tuannya berdasarkan sabda Nabi
"Barangsiapayang menjual budak yang mempunyai harta maka hartanya untuk
yang menjualnya, kecuali jika pembeli menjadikannya syarat”.[2]
Oleh karena itu budak dianggap tidak memiliki harta
yang mengharuskannya berzakat. Dan jika ditakdirkan si budak memiliki harta, pada akhimya harta tersebut akan berpindah ke tangan tuannya. Sebab tuannya boleh mengambil apa yang ada di tangannya. Karena itu kepemilikannya tidak sempuma dan tidak tetap sebagaimana halnya harta milik orang-orang merdeka. Maka zakatnya diwajibkan kepada pemilik harta tersebut, sedangkan budak tidak ada kewajiban apapun. Dan harta seperti ini, tidak mungkin luput dari kewajiban zakat.
Syarat mencapai nishab (kadar batasan harta yang
diwajibkan zakat), maksudnya bahwasanya
seseorang memiliki harta yang telah mencapai nishab yang telah
ditenfukan syara'. Masing-masing harta memiliki
nishabnya tertenfu. Jika seseorang memiliki harta yang tidak mencapai nishab, maka ia tidak wajib zakat, sebab hartanya sedikit dan tidak memungkinkannya untuk membantu orang lain.
Mengenai syarat berlalunya haul (berputamya harta safu
tahun), hal itu dikarenakan kewajiban zakat pada masa sebelum haul akan
memberatkan orang-orang kaya. Dan sebaliknya kewajiban zakat dengan masa haul
yang terlalu lama akan memadharatkan hak orang-orang fakir. Maka di antara
hikmah syari'at adalah dengan menenfukan waktu tertentu untuk mengeluarkan
zakat yang disebut dengan haul. Hikmah mengikat hal tersebut dengan haul adalah
demi sebuah keseimbangan (tawazun) dalam menjaga hak orang-orang kaya dan hak
para penerima zakat sekaligus.
Atas dasar ini, kalau seseorang
meninggal atau hartanya habis sebelum sempurna haul, maka kewajiban zakat menjadi
gugur. Kecuali tiga jenis harta yang dikecualikan dari semprnanya haul:
keuntungan dagang, hasil ternak, dan pertanian.[3]
B. Konsep Mustahiq
Allah SWT membatasi penerima
zakat pada delapan asnaf (golongan). Hal tersebut dilakukan agar zakat
benarbenar diterima orang-orang yang berhak dan membutuhkan. Apabila tidak
dibatasi maka akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tamak untuk memuaskan
kepentingan. Untuk menghalangi keinginan tersebut menjelaskan dan membatasi
siapa saja yang berhak menerima zakat.[4]
Dalam Surat at-Taubah ayat 58-60,
Allah SWT berfirman yang artinya:
”58. Dan di
antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka
diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak
diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. 59.
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya
kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan
memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka). 60. Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Pernyataan Allah yang menggunakan
kata innama, menunjukkan pembatasan penerima zakat hanya untukdelapan golongan saja, dan menutup pintu-pintu bagi kelompok
lain yang tidak berhak untuk mendapatkannya. Delapan golongan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Fakir & Miskin.
Fakir dan miskin ditempatkan
diawal sebagai golongan yang berhak menerima zakat.
Penempatan ini menunjukkan urgensi dan prioritas dalam
pendistribusian zakat, yaitu diprioritaskan bagi fakir dan
miskin. Karena tujuan dari zakat adalah untuk mengurangi
kemiskinan, membantu dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan.
Penyebutan kata fakir dan miskin
dalam surat at- Taubah ayat 60 ini menunjukkan
bahwa keduanya adalah entitas yang berbeda. Para fukaha
berbeda pendapat tentang sisi perbedaan dari keduanya.
Akan tetapi penyebutan fakir terlebih dahulu dibandingkan
miskin menunjukkan bahwa fakir lebih buruk kondisinya
dibandingkan miskin.
Menurut al-Bahuty, fakir adalah
orang yang tidak memiliki apa-apa atau tidak
memiliki setengah dari kebutuhannya, sedangkan miskin
adalah yang memiliki setengah dari kebutuhannya atau
lebih.[5] Wahbah al-Zuhaily memberikan penjelasan yang mudah dipahami tentang perbedaan fakir dan miskin. Fakir adalah orang yang kebutuhannya berjumlah sepuluh, akan tetapi dia hanya
dapat memenuhi tiga kebutuhannya saja, sedangkan miskin
adalah orang yang memerlukan sepuluh akan tetapi hanya mendapatkan delapan, sehingga masih dianggap belum
layak dari segi pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Kalau
sebuah Negara memiliki standar hidup layak, maka fakir adalah
orang yang hidup di bawah setengah dari standar hidup layak, sedangkan miskin adalah yang hidup di atas setengah
dari standar hidup layak, akan tetapi belum mencapai standar hidup layak tersebut.
Ada perbedaan pendapat tentang
ukuran zakat yang wajib diberikan kepada fakir dan
miskin. MenurutMasyhur, yang penting adalah fakir dan
miskin dapat memenuhi kebutuhan primernya untuk
mencapai standar hidup layak, berupa pakaian, makanan, tempat
tinggal, hewan ternak, dan alat untuk berkerja, bagi dirinya
dan keluarganya.[6]
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk mendapatkan standar
minimal dalam memenuhi kebutuhan pokoknya berupa
sandang, pangan dan memperoleh pekerjaan. Seseorang tidak boleh
dibiarkan mengalami kelaparan, tidak memiliki
pakaian, hidup menggelandang, tanpa tempat tinggal, atau
kehilangan kesempatan untuk membina rumah tangga karena
ketiadaan dana.
Zakat tidak diberikan kepada
orang kaya, orang yang memiliki fisik kuat akan tetapi
malas bekerja, atau orang yang hanya menghabiskan waktunya hanya
untuk beribadah, karena ia juga diwajibkan untuk bekerja. Akan tetapi zakat
dapat diberikan kepada orang yang menuntut ilmu, karena kemanfaatan ilmunya tidak hanya untuk dirinya sendiri
akan tetapi juga untuk umat Islam.
3.
Amil
Amil zakat masuk golongan
penerima zakat. Amil Zakat menerima zakat karena tugas sebagai amil yang telah dilaksanakan.
Sehingga bisa saja amil zakat adalah orang kaya akan tetapi tetap berhak
menerima zakat, bukan karena sebab kayanya akan tetapi karena statusnya sebagai
amil zakat. Besarnya honor yang diterima amil, sesuai dengan kadar kepantasan
dan kecukupan. Amil tidak boleh menggambil selain haknya. Harta yang diambil
selain bagiannya masuk dalam kategori korupsi. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang kami pekerjakan, kemudian kami beri ia rizki, maka
apa-apa yang ia ambil selain itu adalah korupsi”.
Dalam hadis yang lain Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang kami pekerjakan,
kemudian ia menyembunyikan benang dan yang lebih dari itu, maka perbuatannya
tersebut adalah korupsi, yang akan datang padanya pada hari kiamat”.
- Muallaf
Yang dimaksud dengan muallaf
adalah orang yang diharapkan dengan zakat semakin mantap dalam memeluk Islam.
Karena mungkin dengan masuk Islam, ia menghadapi banyak penentangan dari pihak
keluarga atau lingkungan, hingga menjadi tertekan, sedih, dan susah. Maka ia
perlu hal yang dapat memantapkan dirinya, yaitu dengan zakat. Dengan diberi
zakat, agar muallaf merasa diperhatikan oleh Islam, sehingga hatinya semakin mantap
memeluk Islam. Zakat juga diberikan kepada orang yang belum masuk Islam,
apabila dengan zakat diharapkan ia masuk
Islam, atau kelompoknya menjadi masuk Islam. Atau dengan
zakat diharapkan ia dapat berhenti dari melakukan keburukan terhadap umat
Islam, atau menghentikan keburukan orang lain terhadap Islam.
Menurut Mazhab Hanafiyah dan
Syafi’iyah, bagian untuk muallaf sudah dihapuskan dengan telah kuatnya agama Islam.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bagian tersebut tetap ada, tidak dihapus. Ibnu
al-Araby berpendapat, jika Islam kuat, bagian tersebut ditiadakan, sedangkan
jika Islam membutuhkan, maka bagian tersebut diadakan kembali. Dengan banyaknya
orang yang memeluk agama Islam di Eropa saat sekarang ini, menjadikan bagian
muallaf masih perlu untuk diadakan, agar semakin memantapkan keyakinan orang-orang
yang baru masuk Islam terhadap Islam yang dianutnya.
- Riqab (budak)
Riqab bentuk jamak dari ruqbah,
yang berarti budak, baik laki-laki (‘abd), maupun budak perempuan (amah). Tujuan
dari diberikan zakat kepada budak adalah agar ia dapat terbebas dari perbudakan
tersebut. Dengan zakat, budak tersebut dapat ditebus (makatib) atau dibeli
untuk dibebaskan.
Menurut para mufasir, penggunaan
kata li untuk empat golongan pertama dan kata fi untuk empat golongan kedua menunjukkan
bahwa zakat bertujuan untuk dimiliki pada empat
golongan pertama, sedangkan untuk empat golongan kedua, zakat bertujuan untuk
meyelesaikan kepentingan mereka, bukan untuk mereka, kecuali harta yang
diterima oleh orang yang berjuang di jalan Allah SWT, maka itu adalah untuknya.
- Orang yang berhutang (gharim)
Yaitu orang yang dililit hutang
sehingga tidak mampu untuk melunasinya. Orang berhutang karena untuk memenuhi kepentingannya
atau untuk kepentingan orang lain. Mujahid berkata:”ada tiga golongan gharim,
orang yang hartanya hanyut karena banjir, orang yang hartanya habis dilahap
api, dan orang yang memiliki keluarga akan tetapi tidak memiliki harta,
sehingga ia harus berhutang untuk menafkahi keluarganya”.
Para fukaha memperbolehkan
melunasi hutang orang yang telah meninggal dengan zakat, karena orang tersebut masuk
kategori gharimin. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku lebih utama daripada setiap
orang mukmin. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk
keluarganya. Barang siapa yang meninggalkan hutang, maka hutang tersebut
untukku atau menjadi kewajibanku”
Ulama sekarang memperbolehkan
orang yang butuh uang meminjam uang zakat dari bagian gharimin tersebut
merupakan pinjaman kebajikan (qardh hasan), yang akan menghindarkan orang yang
berhutang dari riba.
- Fi sabilillah
Yang dimaksud dengan fi
sabilillah adalah jalan yang mengantarkan orang yang menempuh meraih keridhaan
Allah SWT, yaitu dengan ilmu dan amal. Sebagian lagi berpendapat bahwa fi
sabilillah adalah berperang.
Ibn al-Atsir mengatakan asal dari
makna al-Sabil adalah jalan. Sabilillah mencakup semua amal perbuatan yang dilakukan
dengan ikhlas dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan mengerjakan
ibadah-ibadah wajib dan sunnah, dan segala jenis ibadah yang bernilai kebaikan.
Akan tetapi fi sabilillah
mengalami penyempitan makna, yaitu hanya bermakna jihad. Hingga seakan-akan fi sabilillah
hanya bermakna jihad saja.
Imam-imam mamazhab selain imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat fi sabilillah adalah pejuang yang berperang untuk meninggikan
agama Allah. Mereka mendapat zakat, baik kaya maupun miskin. Imam Ahmad
menambahkan makna fi sabilillah selain mujahidin adalah orang yang ingin berhaji
akan tetapi tidak memiliki biaya untuk naik haji.
Akan tetapi sebagian fukaha
berpendapat bahwa berhaji bukan fi sabilillah, karena haji hanya diwajibkan
bagi yang mampu, yang memiliki biaya.
Rasyid Ridha berpendapat boleh menyalurkan bagian fi sabilillah untuk hal-hal
yang berhubungan dengan haji, misalnya membuat jalan ke Makkah, menyediakan
makanan dan minuman, dan meyediakan alat kesehatan bagi jama’ah haji.
Rasyid Ridha berpendapat, yang
paling penting untuk menerima bagian fi sabilillah pada masa sekarang ini
adalah untuk program pendidikan da’i, membiayai sekolah-sekolah agama Islam,
atau untuk pendirian percetakan surat kabar Islam dan buku-buku Islam yang
disebarkan kepada masyarakat.[7]
Dapat disimpulkan bahwa semua
usaha maksimal untuk meninggikan agama Islam adalah fi sabilillah, bagaimanapun
bentuk jihad dan senjata yang digunakannya, baik dengan pena, lisan, ataupun
pedang. Jihad pendidikan, sosial, ekonomi, ataupun jihad politik, dan militer.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berjihadlah terhadap orang-orang musyrik, dengan
hartamu, jiwamu, dan lisanmu”[8]
- Ibnu Sabil
Ibnu sabil menurut mayoritas
ulama adalah orang yang melakukan perjalanan dari suatu negeri ke negeri yang
lain, dan kehabisan bekal dalam perjalannya
tersebut, maka diberi zakat untuk biaya pulang ke negaranya. Ulama mensyaratkan
untuk menerima zakat harus perjalanan yang baik bukan untuk kemaksiatan,
seperti perjalanan wisata, atau menuntut ilmu, dan mencari rizki.
Demikian rincian dari delapan
golongan penerima zakat. Menurut Mahmod Syaltut, zakat disalurkan pada dua sasaran,
yaitu pertama, orang yang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, dan
tidak pula dapat berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, untuk kepentingan-kepentingan
yang mendesakyang perlu dipenuhi demi tegaknya negara
dan agama[9].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para fuqaha sepakat bahwa orang
yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang muslim, baligh, berakal, merdeka,
dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu (nishab) dan dengan syarat-syarat
tertentu pula. Menurut syekh muhammad shalih al-utsaimin syarat wajib zakat
adalah: Islam, merdeka, mencapai nishab, dan telah berputamya masa harta
tersebut satu tahun (haul) kecuali dalam mu'asyirat (hasil pertanian dan
perkebunan).
Namun dalam hal harta anak kecil
dan orang gila para fuqaha berbeda pendapat. Satu golongan mengatakan tidak
wwajib zakat sedangkna golongan yang lain mewajibkan zakat. Namun dua pendapat
ini dapat dikompromikan, yaitu apabila harta itu dikembangkan maka wajib zakat,
tetapi apabilaharta itu hanya dipegang ditangan orang yang diwasiatkan untuk
memegangnya maka tidak wajib zakat, dengan maksud supaya harta itu tidak
semakin berkurang sebab membayar zakat setiap tahunnya.
Allah SWT membatasi penerima zakat pada delapan asnaf
(golongan). Hal tersebut dilakukan agar zakat benarbenar diterima orang-orang
yang berhak dan membutuhkan. Apabila tidak dibatasi maka akan dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tamak untuk memuaskan kepentingan.
Pernyataan Allah yang menggunakan
kata innama (QS. At-taubah: 60), menunjukkan pembatasan penerima zakat hanya
untuk delapan golongan saja, dan menutup pintu-pintu bagi kelompok lain yang
tidak berhak untuk mendapatkannya. Delapan golongan ini yakni fakir, miskin,
amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
DAFTAR PUSTAKA
Kangaaibnuzaein.blogspot.com/2017/03/makalah-muzakki-dan-mustahi-q-zakat.html?m=1
Al-Suyuthy, al-Jami’ al-Shaghir,
h.1/554, hadis no. 3578.
Direktorat Pemberdayaan Zakat, Membangun
Peradaban Zakat, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012)
Al-Bahuty, (Mansur bin Yunus bin Idris, Kassyaf al-Qina‘an Matan
al-Iqna’ (Mesir: Maktabah an-Nashr al-Haditsah, tt)
Ni’mat Abdul Latif Masyhur, al-Zakat al-Usus al-Syar’iyyah wa al-Daur
al-InmaI wa al-Tauzi’I, (Bairut: al-Muassasah al-Jamiah lin Nasyr, 1994)
http://eprints.walisongo.ac.id/9776/1/Buku%20Manajemen%20Zakat.pdf.
Ensiklopedi Zakat “Kumpulan fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin”
Bukhari "Kitabul Musagat” bab “ar Rajul yakunu lahu Mamarr” ---'
(3379), Muslim "Kitabul Buyu'" bab "Man Baa'a Nakhlan 'alaiha
tsamar" (1543)
[1] Kangaaibnuzaein.blogspot.com/2017/03/makalah-muzakki-dan-mustahi-q-zakat.html?m=1
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam”Kitabul Musagat” bab “Ar Rajul yakunu lahu
Mamarr”(3379), Muslim "Kitabul Buyu'" bab "Man Baa'a Nakhlan
'alaiha tsamar" (1543)
[4] “Buku Manajemen Zakat.pdf,”
diakses 15 Maret 2020,
http://eprints.walisongo.ac.id/9776/1/Buku%20Manajemen%20Zakat.pdf.
[5] al-Bahuty, (Mansur bin Yunus bin
Idris, Kassyaf al-Qina‘an Matan al-Iqna’ (Mesir: Maktabah an-Nashr
al-Haditsah, tt),h.424.
[6] Ni’mat Abdul Latif Masyhur, al-Zakat
al-Usus al-Syar’iyyah wa al-Daur al-InmaI wa al-Tauzi’I, (Bairut:
al-Muassasah al-Jamiah lin Nasyr, 1994), h.75.
[9] Direktorat Pemberdayaan Zakat, Membangun
Peradaban Zakat, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012). H.51.